Kamis, 05 Mei 2011

Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang anda Katakan


Pikiran diungkapkan ke dalam kata – kata. Kecermatan pikiran terungkap ke dalam kecermatan kata – kata. Karenanya kecermatan ungkapan pikiran ke dalam kata merupakan sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Anda senantiasa perlu menguasai ungkapan pikiran ke dalam kata tersebut, baik yang eksplisit maupun yang implisit. Harus mengetahui dengan betul dan seksama mengenai isi (komprehensif), lingkungan (ekstensi), arti fungsional (suposisi) dan istilah (term) yang digunakan, karena istilah merupakan unsur kontitusif penalaran. Ketidaktertiban dalam istilah yang digunakan akan berakibat dalam ketertiban dalam penalaran. Waspadalah terhadap term – term ekuivokal (bentuk sama, tetapi arti berbeda), analogi (bentuk sama, tetapi arti sebagian sama sebagian berbeda). Ketahuilah pula perbedaan kecil arti (nuansa) dari hal – hal yang anda katakan. Identifikasi dan lokalisasi arti tambahan (konotasi) suatu term. Perlu selalu diperhatikan ampliasi (pembesaran suposisi), restriksi (pengecilan suposisi), alienasi (perluasan suposisi), dan apelasi (pembatasan suposisi). Senantiasa kejarlah univokalitas (kesamaan bentuk, kesamaan arti) term – term yang dipakai.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang Anda kerjakan


Kegiatan yang sedang dikerjakan adalah kegiatan berpikir. Seluruh aktivitas intelek kita adalah suatu usaha terus – menerus mengejar kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya pengetahuan tentang kebenaran tetapi parsial sifatnya. Andaikata intelek kita intuitif, pada setiap langkah, kita dapat melihat kebenaran secara langsung tanpa terlebih dahulu memburunya tanpa melalui proses yang berbelit – belit dan banyak seluk – beluknya. Pada taraf hidup kita di dunia ini, sifat intelek kita diskursif, dan hanya dalam beberapa hal agak sedikit intuitif. Karena untuk mencapai kebenaran, kita harus bergerak melalui berbagai macam langkah dan kegiatan. Penting bagi kita untuk mengetahui betul semuanya itu supaya dapat melaksanakannya dengan tepat dan seksama.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Masa Keruntuhan Tradisi Keilmuan dalam Islam


Abad ke-18 dalam sejarah Islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi umat islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban Islam secara universal. Seperti yang diungkapkan oleh Lothrop Stoddard, bahwa menjelang abad ke-18, dunia Islam telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam tampaknya sudah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering kerontang berupa ritual tanpa jiwa dan takhayul yang merendahkan martabat umatnya. Ia menyatakan seandainya Muhammad bisa kembali hidup, dia pasti akan mengutuk para pengikutnya sebagai kaum murtad dan musyrik.

Pernyataan Stoddard di atas menggambarkan begitu dahsyatnya proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan islam yang kemudian menjadikan umat islam sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa – bangsa Barat. Runtuhnya bangunan tradisi keilmuan islam secara garis besar dapat diterangkan karena adanya sebab – sebab berikut.

Dalam bukunya, The Recontruction Of Religious Thought In Islam Iqbal menyatakan bahwa salah satu penyebab utama kematian semangat ilmiah di kalangan umat Islam adalah diterimanya paham Yunani mengenai realitas yang pada pokoknya bersifat statis, sementara jiwa Islam adalah dinamis dan berkembang. Ia selanjutnya mengungkapkan bahwa semua aliran pemikiran Muslim bertemu dalam suatu teori Ibn Miskawaih mengenai kehidupan sebagai suatu gerak evolusi dengan Ibn Khaldun mengenai sejarah.

Jika asumsi Iqbal di atas bisa diterima, tepat yang dilukiskan oleh Amin Abdullah tentang sifat kedinamisan ilmu ketika ia menyatakan menurut telaah filsafat ilmu, hampir semua jenis kegiatan ilmu, baik natural sciences maupun social sciences, bahkan religious sciences, selalu mengalami apa yang disebut dengan shifting paradigm (pergeseran gugusan pemikiran keilmuan). Kegiatan ilmu selamanya bersifat historis, lantaran dibangun, dirancang, dan dirumuskan oleh akal budi manusia yang juga bersifat historis. Yang dimaksud bersifat historis adalah terikat ruang dan waktu, terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dan perkembangan kehidupan sosial yang mengitari penggal waktu tertentu. Dengan begitu, sangat dimungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, nasikh dan mansukh, serta rancang bangun epistemologi keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan akan mandeg dengan sendirinya alias statis.

Sebab lain yang menyebabkan kehancuran tradisi keilmuan Islam adalah persepsi yang keliru dalam memahami pemikiran Al-Ghazali. Orang umumnya mengecam Al-Ghazali karena ia menolak filsafat seperti yang ia tulis dalam Tahafut al-Falasifahnya. Padahal ia sebenarnya menawarkan sebuah metode yang ilmiah dan rasional, dan juga menekankan pentingnya pengamatan dan analisis, serta sifat skeptis. Hal ini misalnya ia tuangkan dalam karyanya berjudul al-Munqidz min al-Dlalal. Selain itu umat Islam juga tidak memperhatikan karya Ibn Rushd (Thafaut al-Thafaut), yang membela Aristotelianisme dan mengecam kritik Al-Ghazali kepada filsafat. Seandainya orang mau meluangkan waktunya untuk mengkaji karya Ibn Rushd itu, barangkali kemerosmerotan di kalangan umat Islam tidak akan separah sekarang ini.

Fiqih merupakan ilmu pertama yang dikembangkan oleh umat Islam. Keempat sumbernya yang pertama yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas, merupakan sumber hukum tetap. Namun karena sifatnya yang tetap itulah kaum Muslim harus menggunakan metode deduktif untuk sampai kepada keputusan mengenai masalah – masalah khusus, dan pada saat yang sama metode induktif kehilangan semangatnya. Di masa dekadensi, kegiatan intelektual sedang mencapai titiknya yang terendah, tidaklah mengeherankan jika orang kemudian menjadi bersikap dogmatis dan taklid secara membuta.

Para penguasa seringkali merasa takut dengan tersebar luasnya pendidikan dan pengetahuan di kalangan massa yang dapat menggerogoti kekuasaan mereka yang mutlak. Munculnya orang – orang yang pandai dan terampil menyebabkan longgarnya golongan elit feodal dan keagamaan. Dengan membuka kesempatan baru bagi masyarakat dan menawarkan cara yang baru sama sekali untuk memperoleh pengaruh melalui pengetahuan dan bukan melalui pewarisan, maka penyebarluasan ilmu dan teknologi menghantam akar dasar kekuasaan golongan yang memnpunyai hak – hak istimewa.

Selain sebab – sebab di atas, kesulitan – kesulitan ijtihad dan mistisisme akestik juga merupakan faktor yang menyebabkan kemunduran tradisi intelektual dan keilmuan di dunia Islam.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Apakah Belajar Itu?


Bagi kebanyakan siswa, juga mahasiswa, belajar berarti menggarisbawahi buku pelajaran dengan stabilo kuning sambil mendengarkan alunan musik dari ruang lain. Atau, bila menghadapi ujian akhir semester esok hari belajar berarti meminum kopi sebanyak mungkin atau minum pil anti ngantuk dan menghabiskan sepanjang malam untuk berusaha menjejali otaknya dengan semua bahan kuliah yang, sebetulnya, mesti dipelajari selama kurang lebih dua belas minggu sebelumnya. Maka, SKS pun kemudian dipelesetkan menjadi “sistem kebut semalam”.

Kebiasaan belajar semacam itu, menurut pengamatan sepintas, biasanya menghasilkan pemahaman yang cukup untuk bisa lepas dari masa percobaan di sekolah atau perguruan tinggi. Dan, karena kebiasaan itu diperkuat dengan cara tersebut, ada kecendrungan untuk tetap terpelihara (Fox, 1962). Namun, menurut Calhoun & Acocella (1990:181), “The constitute the least efficient way of learning,” kebiasaan itu merupakan cara yang paling tidak efisien dalam belajar.

Belajar, menurut anggapan sementara orang, adalah proses yang terjadi dalam otak manusia. Saraf dan sel – sel otak yang bekerja mengumpulkan semua yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan lain – lain, lantas disusun oleh otak sebagai hasil belajar. Itulah sebabnya, orang tidak bisa belajar jika fungsi otaknya terganggu.

Belajar merupakan peristiwa yang terjadi dalam diri manusia. Hingga kini, para ahli tidak mengetahui seratus perses bagaimana persis terjadinya peristiwa itu. Pada masa lalu, ada ahli yang percaya bahwa peristiwa belajar semata – mata merupakan proses kimia yang terjadi dalan sel – sel, terutama dalam sel dan saraf otak. Pendapat ini kadang – kadang dirumuskan terlalu ekstrem, seakan – akan manusia itu hanya kumpulan jasad kebendaan saja. Ini adalah pengaruh pandangan hidup yang materialistik, yang artinya tidak percaya adanya jiwa atau roh.

Memang, ilmu pengetahuan sudah menemukan bahwa terdapat bagian – bagian tubuh di otak maupun di berbagai kelenjar tubuh yang sangat mempengaruhi daya ingat kita. Walaupun demikian, pendapat yang materialistik sudah ditinggalkan orang karena tidak terbukti kebenarannya. Belajar bukanlah semata – mata proses jasmanian. (Surakhmad, 1982).

Dalam bukunya The organization of Behavior (1949), D.O. Hebb (Hardy & Heyes, 1988:32-33) mengemukakan teorinya mengenai proses berlangsungnya belajar dan penyimpanannya di otak. Pada masa penerbitan buku ini, bukti – bukti yang mendukung teori ini masih sangat kurang, karena teknik pembedahan yang canggih serta peralatan yang diperlukan untuk mempelajari fungsi otak, belum ada. Sejalan dengan bertambahnya pengetahuan mengenai fungsi otak yang berhasil diperoleh para peneliti otak yang lain, kenyataan membuktikan bahwa teori Hebb, sekalipun mungkin kurang benar dalam beberapa hal, telah menunjukan keberhasilannya.

Inti teori Hebb adalah bahwa semakin sering dua atau lebih neuron di otak meletup pada saat bersamaan, semakin besar kecendrungan bagi neuron tersebut untuk bekerja sama pada kesempatan berikutnya. Perlu diingat, bahwa neuron dapat mengaktifkan satu sama lain pada celah sinapsis; dan impuls sebuah neuron dapat melompati celah ini dalam bentuk bahan pemancar, yang kemudian melepaskan impuls dari neuron berikutnya pada suatu rantai neuron. Kedua neuron yang dihubungkan oleh celah sinapsis, ada kemungkinan, tidak perlu bekerja bersama – sama, karena masing – masing neuron tersebut menjadi anggota pada sirkit yang berbeda otak.

Sesungguhnya masalah belajar itu demikian kompleksnya, sehingga apabila orang menganggap beberapa macam perilaku yang berbeda dapat diistilahkan secara umum sebagai belajar, tampak bahwa pendefinisian belajar menjadi sangat kabur, karena di dalamnya tercakup semua perikalu tersebut. Bandingkan, misalnya, antara “belajar merasakan (sesuatu)” dengan belajar “pengantar psikologi” sebelum ujian; kegiatan yang disebut terakhir ini melibatkan konsentrasi, penerapan, dedikasi, dan frustasi; sedangkan pada kegiatan yang disebutkan pertama, kita tidak perlu duduk dan mempelajari  prinsip – prisnip persepsi dari berbagai buku. Meskipun begitu, untuk kedua kasus tersebut, sama – sama digunakan kata “belajar”.

Secara singkat dan secara umum, belajar dapat diartikan sebagai “perubahan perilaku yang relatif tetap sebagai hasil adanya pengalaman”. Disini, tidak termasuk perubahan perilaku yang diakibatkan oleh kerusakan atau cacat fisik, penyakit, obat – obatan, atau perubahan karena proses pematangan.

Pengertian belajar memang selalu berkaitan dengan perubahan, baik yang meliputi keseluruhan tingkah laku individu maupun yang hanya terjadi pada beberapa aspek dari kepribadian individu. Perubahan ini dengan sendirinya dialami tiap – tiap indvidu atau manusia, terutama hanya sekali sejak manusia dilahirkan. Sejak saat itu, terjadi perubahan – perubahan dalam perkembangan melalui fase – fasenya. Dan karena itu pula, sejak saat itu berlangsung proses – proses belajar.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer